28 September 2007

Kesehatan Anak Masa Depan Bangsa

Kesehatan Anak Masa Depan Bangsa

Oleh Ahmad Sanoesi Tambunan

INDONESIA telah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB lewat Keputusan Presiden No 36/1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia wajib memenuhi hak-hak anak bagi semua anak tanpa kecuali.

Selain itu, kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jadi, secara politis ada kemauan pemerintah untuk melindungi anak. Tinggal bagaimana implementasinya dalam kebijakan pembangunan dan tindakan di lapangan. Melindungi anak pada hakikatnya melindungi kehidupan masa depan bangsa.

UU No 23/1992 tentang Kesehatan mengatur penyelenggaraan kesehatan anak. Pasal 17 Ayat (2) menegaskan, peningkatan kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan usia sekolah.

Pasal 8, tiap anak berhak mendapat pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Namun, sejak UU Perlindungan Anak disahkan (22/10/2002), kondisi anak Indonesia belum banyak berubah. Di beberapa sisi terlihat penurunan kesehatan dan kesejahteraan anak. Juga komisi perlindungan anak Indonesia sebagai amanat UU yang semestinya sudah ada sejak Mei 2003, belum juga terbentuk.

Ancaman gizi buruk

Kondisi kesehatan anak Indonesia tergolong rendah dibanding negara-negara ASEAN (Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam). Itulah kenyataan yang harus diterima. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia merosot, dari 0,684 ke 0,682. Akibatnya, posisi Indonesia merosot dari 110 menjadi 112 menurut Human Development Index (HDI) UNDP dari 175 negara di dunia. Salah satu faktor penentu HDI adalah tingkat kesehatan yang terkait erat dengan perbaikan gizi, selain pendidikan dan ekonomi.

Buruknya kondisi gizi rakyat Indonesia bisa dirasakan pada anak-anak dan ibu hamil. Itu terlihat dari tingginya angka kematian ibu melahirkan. Survei Sosial Hasil Ekonomi Nasional (Susenas) 1998 menunjukkan, 2,4 juta balita menderita gizi buruk, tujuh juta balita kurang energi protein (KEP), 7,5 juta ibu usia 15-45 tahun menderita kurang gizi. Sekitar 17.200 ibu meninggal saat melahirkan (satu ibu per dua jam), 4,3 juta bayi meninggal saat dilahirkan, dan sekitar 305.000 balita meninggal sebelum ulang tahun kelima.

Meski prevalensi gizi buruk sudah menurun, dari 8,1 persen (dari 1,7 juta balita yang menderita gizi kurang) tahun 1999 menjadi 7,5 persen tahun 2000, berdasarkan Susenas, namun jumlah nominalnya masih tinggi, yaitu 160.000 balita. Itu belum termasuk anak yang kekurangan gizi mikro, yaitu zat besi, yodium, dan vitamin A

Kekurangan zat yodium juga mengurangi kecerdasan. Intelligence quotient (IQ) yang hilang akibat kurang zat yodium diperkirakan 50 IQ poin untuk tiap penderita. Bila ada 42 juta penduduk Indonesia (termasuk anak usia sekolah) berisiko kekurangan zat yodium, berarti secara potensial Indonesia kehilangan sekitar 170 juta IQ poin. Hanya karena masalah gizi (kurang yodium), bila tidak ditanggulangi, manusia Indonesia akan kehilangan kemampuan intelektualnya di masa depan.

Menurunnya gizi anak-anak terasa sejak krisis ekonomi. Kenaikan harga bahan makanan tanpa disertai kenaikan pendapatan membuat masyarakat sulit memenuhi standar gizi bagi anaknya. Bila keadaan ini dibiarkan, akan berdampak tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Selain itu, kekurangan gizi menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, menurunnya perkembangan kecerdasan, kekurangan gairah belajar, menurunkan produktivitas, dan menurunkan daya tahan terhadap penyakit yang mengakibatkan kematian. Menurut WHO, faktor gizi merupakan 54 persen kontributor penyebab kematian. Bahkan, pada balita, kekurangan gizi amat berpengaruh terhadap perkembangan otak yang 80 persen proses pertumbuhannya terjadi pada masa itu.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, pakar kesehatan masyarakat, Prof Dr dr Ascobat Gani MPH, mengungkapkan hasil penelitian tengkorak anak bergizi buruk, sel-sel otaknya tidak berkembang, "kosong", sehingga tak mampu menerima pelajaran dengan baik karena kecerdasan dan produktivitasnya amat rendah. Ini terlihat dari penampang lintang otak anak kurang gizi dibanding anak cukup gizi.

Muramnya kondisi kesehatan anak-anak Indonesia paralel dengan kegiatan pendidikan di sekolah. Dari segi kualitas, berdasarkan hasil studi yang dilaksanakan International Educational Achievement (IEA) diketahui, kemampuan membaca siswa SD kita amat memprihatinkan, paling rendah di ASEAN, pada urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Sementara itu, menurut penelitian The Third International Mathematics and Science Study-Repeat tahun 1999, kemampuan siswa SLTP kita di bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada urutan ke-32 dan Matematika pada urutan ke-34 dari 38 negara yang diteliti.

Alternatif

Kenyataan ini seharusnya memacu kita untuk memperbaiki diri. Fakta-fakta itu harus menyadarkan kita untuk mengubah pendekatan pembangunan yang selama ini dilakukan.

Kemajuan jangan hanya diukur dari tingkat ekonomi, harus seimbang antara pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia (SDM). Jauh lebih penting, peningkatan kualitas manusia melalui perbaikan kesehatan dan pendidikan. Pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Masyarakat harus ikut bertanggung jawab membangun manusia Indonesia, dimulai dari keluarga dan orang yang ada di sekeliling kita.

Meningkatkan derajat kesehatan tidak harus dengan program muluk, dapat dengan hal sederhana, seperti memberantas cacingan, menurunkan prevalensi anemia pada anak sekolah dengan memberi suplementasi tablet zat besi, pemeriksaan berkala kuku anak, membiasakan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar, serta menjaga kebersihan sebagai perilaku sehari-hari. Jika langkah ini konsisten dikerjakan, dampaknya amat nyata untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat.

Kita berharap banyak pada pemerintah untuk lebih memperhatikan pembangunan bervisi SDM. Amanat UUD 1945 bahwa 20 persen anggaran belanja negara harus dialokasikan untuk pendidikan, jangan sekadar retorika. Bila anak-anak sekolah tidak mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan yang layak dan tidak diperhatikan aspek kesehatan dan gizinya, pemerintah telah mengabaikan bangsanya sendiri. Sebagaimana termaktub dalam UU No 23/ 2002, Pasal 44 Ayat (1), (2), (3), dan (4), pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak agar tiap anak mendapat derajat kesehatan optimal sejak dalam kandungan, yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. Pelayanan yang diselenggarakan cuma-cuma bagi keluarga tidak mampu harus terus digalakkan. Jika semua langkah ini bisa dilakukan dengan partisipasi orangtua dan masyarakat, kiranya ada harapan cerah bagi masa depan bangsa.

Mengingat anak-anak adalah aset, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa-yang memiliki peran strategis, mempunyai ciri, dan sifat khusus-kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan akan amat tergantung kualitas pertumbuhan mereka. Agar tiap anak mampu memikul tanggung jawab itu, ia perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia.

Dalam hal ini diperlukan program perlindungan dan kesejahteraan bagi mereka dengan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.

Ahmad Sanoesi Tambunan Wakil Ketua Komisi VII Bidang Kesehatan Fraksi Reformasi


Tidak ada komentar: