28 September 2007

Kurang Darah, Anak Bisa Memble

hematologi
Kurang Darah, Anak Bisa Memble

EVY RACHMAWATI

Anemia kerap kali dianggap sebagai penyakit biasa. Ketika mengalami gejala kurang darah seperti letih, lesu, pucat, dan berkeringat dingin, banyak orang mengabaikannya. Padahal, jika tidak segera diatasi, kondisi ini bisa menimbulkan dampak lebih serius terhadap kesehatan, terutama pada ibu hamil dan anak-anak.

Rendi (13) salah satunya. Siswa kelas V sekolah dasar di Kabupaten Bogor ini tampak lemah, lesu, dan pucat pasi. Sejak lima bulan silam, bocah malang ini harus bolak-balik masuk rumah sakit gara-gara terserang anemia aplastik. Jenis anemia ini tergolong langka dan muncul lantaran adanya gangguan pada pabrik sel darah merah, yakni sumsum tulang belakang.

Gejala yang diderita antara lain lesu, lemah, wajah pucat, mata berwarna kuning, bintik-bintik merah dan memar, bahkan sempat pingsan dan perdarahan pada gusi, hidung, dan tinja. "Waktu itu dikira sakit kuning. Habis, gejalanya mirip," tutur Ny Icih (50-an), nenek dari Rendi.

Rendi dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan dinyatakan terkena anemia aplastik. Ia pun harus ditransfusi darah. Untuk biaya berobat, orangtuanya yang sehari-hari berjualan sayuran terpaksa menggadaikan harta benda, mulai dari sepeda motor sampai sepetak sawah.

Sementara Edna (29) mengaku menderita anemia defisiensi besi sejak remaja. Penyakit itu sering kambuh ketika ia haid. Hemoglobinnya pernah turun hingga tinggal 6,5 g/dl dan harus dirawat di rumah sakit. "Tiap kali kambuh, kepala terasa berat, lesu banget. Bibir memerah dan gampang luka, gak bisa makan pedas," tuturnya.

"Gara-gara anemia, aku pernah lemes sampai gak bisa ngangkat kepala, bahkan sempat pingsan," ujarnya. Agar kadar hemoglobin tidak turun drastis, ia menyiasatinya dengan rajin makan sayuran kaya zat besi seperti bayam dan mengonsumsi suplemen yang mengandung zat besi jika diperlukan.

Tumbuh kembang terganggu

Anemia, yang biasa disebut di kalangan awam dengan kurang darah, didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Umumnya, anemia disebabkan kurangnya zat besi yang masuk dalam tubuh. Dengan demikian, hemoglobin yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik.

Dokter spesialis anak Djajadiman Gatot dari Divisi Hematologi Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM menjelaskan, penyebab anemia yang paling sering dijumpai adalah berkurangnya produksi sel darah merah berupa defisiensi besi, asam folat, B12, kegagalan sumsum tulang (anemia aplastik). Penyebab lain adalah gangguan pematangan sel darah merah, penyakit kronis, dan penghancuran sel darah merah akibat infeksi.

Berdasarkan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), anemia pada anak usia kurang dari enam tahun ditandai hemoglobin kurang dari 11 gram per dl. Pada anak usia lebih dari enam tahun ditandai hemoglobin kurang dari 12 g per dl.

"Zat besi berpengaruh terhadap kognisi, aktivitas mental seperti mendapatkan, menyimpan, mengeluarkan, dan memakai informasi dan pengetahuan," kata Djajadiman.

Gejala umum anemia adalah lesu, lemah, cepat letih, pucat lama, pusing, dan mudah mengantuk. Kadang disertai kulit kering, kuku kusam, kulit berwarna kuning, terutama pada orang yang sulit makan, sakit lama, perdarahan kronik, infeksi cacing, penyakit keganasan, ibu hamil dan menyusui serta orang lanjut usia.

Kasus terbanyak di Indonesia adalah anemia defisiensi besi, terutama pada anak-anak, yakni suatu keadaan di mana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal karena kurangnya zat besi. Hal ini antara lain disebabkan diet tidak seimbang, proses penyerapan yang tidak baik, terjadi peningkatan kebutuhan zat besi seperti saat hamil dan menyusui, masa pertumbuhan, atau kehilangan darah.

"Penyebab langsung timbulnya anemia gizi besi adalah asupan makanan yang tidak cukup secara kuantitas dan kualitas serta infeksi penyakit seperti cacingan dan malaria," kata Direktur Bina Kesehatan Anak Departemen Kesehatan Rachmi Untoro. Penyebab tidak langsung adalah ketimpangan jender, sehingga ketersediaan dan distribusi pangan keluarga yang bergizi untuk ibu dan anak terabaikan.

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, jumlah penduduk Indonesia yang mengalami anemia gizi besi mencapai lebih dari seratus juta jiwa. Mereka berasal dari kelompok umur di bawah lima tahun (balita), anak usia sekolah, remaja putri, ibu hamil, wanita usia subur (WUS), usia produktif hingga usia lanjut.

Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) dr Soedjatmiko mengungkapkan, anemia di Indonesia tahun 2000 adalah 8,1 juta anak balita (40,5 persen), 17,5 juta anak usia sekolah (47,2 persen), 6,3 juta remaja putri (57,1 persen), 13 juta wanita usia subur (39,5 persen), 6,3 juta ibu hamil (57,1 persen).

Prevalensi anemia pada anak balita, yakni 337 per 1.000 anak laki-laki dan 492 per 1.000 anak perempuan. Prevalensi usia 5-14 tahun 428 per 1.000 anak lelaki, dan 492 per 1.000 anak perempuan.

Hasil SKRT tahun 2001 memperlihatkan, prevalensi anemia gizi besi pada usia balita sebesar 47 persen. Untuk anak usia sekolah, berdasarkan penelitian yang dilakukan Yayasan Kusuma Buana (YKB) dari 3.000 anak usia sekolah yang diperiksa, hampir separuhnya menderita anemia. "Ini berarti satu dari dua anak usia sekolah menderita anemia," ujar Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.

Penyakit kurang darah, lanjut Fadilah, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan serta perkembangan otak anak. Perkembangan kemampuan berpikir (kognitif) anak sekolah akan terganggu, badan jadi lesu, lelah, cepat letih. Hal ini dapat mengakibatkan turunnya prestasi belajar, kemampuan fisik, dan prestasi olahraga. Penderita anemia juga mudah terserang penyakit dan gangguan pertumbuhan.

"Jika mayoritas anak perempuan menderita anemia, dampaknya akan berlanjut. Mengingat, mereka adalah para calon ibu yang akan melahirkan generasi penerus," tuturnya.

Jika tidak ditanggulangi, dikhawatirkan akan meningkatkan risiko perdarahan pada saat persalinan yang dapat menimbulkan kematian ibu. Calon ibu yang menderita anemia bisa melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

Soedjatmiko menambahkan, anemia membuat transfer oksigen yang memperlancar metabolisme sel-sel otak terhambat, metabolisme lemak mielin yang mempercepat hantar impuls saraf, perilaku, serta konsentrasi terganggu.

"Jika terkena anemia defisiensi gizi saat bayi, maka ketika memasuki prasekolah dan usia sekolah akan terganggu konsentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah rendah, tingkat kecerdasan lebih rendah dan gangguan perilaku," tuturnya.

Menurut Djajadiman, komplikasi ringan pada anemia berupa kolonika, atrofi papil lidah, glositis-stomatitis akan sembuh jika diberi tambahan zat besi. Namun, jika sudah terjadi komplikasi berat berupa mudah infeksi, gangguan prestasi belajar dan gangguan mental. Penambahan zat besi bisa mengatasi gangguan itu tetapi dalam jangka waktu lama atau malah kondisi itu sudah bersifat menetap.

Pencegahan

Untuk mencegah anemia, anak-anak usia kurang dari satu tahun disarankan mengonsumsi makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) yang kaya zat besi dan vitamin C. Untuk anak usia di atas satu tahun dianjurkan minum susu formula. Hal ini disertai skrining melalui terapi.

"Cara lain adalah uji tapis terhadap bayi atau anak dengan risiko mengalami anemia defisiensi besi dan mengonsumsi suplementasi besi," kata Djajadiman.

Pada penderita anemia, perlu diberi preparat besi dan mengatasi penyebab gizi sebagai faktor utama. Pemberian preparat zat besi dengan cara oral dan lama pemberian sampai besi serum feritin normal.

Respons pemberian besi dalam 12 jam-24 jam adalah perbaikan subyektif, penurunan iritabilitas, dan meningkatnya nafsu makan. Dalam empat hingga 30 hari bisa meningkatkan kadar hemoglobin. Jika ada indikasi Hb kurang dari 6 gram per dl, maka perlu dilakukan transfusi darah.

Ibu hamil sebaiknya diberi tablet zat besi agar menjamin tercukupinya kebutuhan zat besi untuk janin, terutama perkembangan otak dan darah. Remaja perempuan sebaiknya diperiksa kadar zat besi dan cadangannya.

"Bila di bawah normal segera berikan tambahan zat besi sampai normal agar kelak ketika hamil kebutuhan untuk janin tercukupi," papar Soedjatmiko.

Anak usia sekolah yang kecerdasannya rendah karena kurang zat besi, pemberian tambahan zat besi tidak banyak manfaatnya. Karena itu, pencegahan dan pengobatan sebaiknya dimulai pada umur enam bulan sampai dua hingga tiga tahun. Itu semua disertai pemberian ASI dan nutrisi yang lengkap dan seimbang, stimulasi dini dengan penuh kasih sayang, imunisasi lengkap, kebersihan badan dan lingkungan, pemantauan tumbuh kembang.

Norma keluarga sadar gizi, di antaranya makan aneka ragam makanan setiap hari perlu dibiasakan sejak dini dalam keluarga dan di sekolah. Selain itu, perlu asupan makanan yang seimbang untuk mencukupi kadar zat besi seperti daging sapi dan ayam, hati, telur, kacang-kacangan, kentang, ikan, sayuran berdaun hijau dan buah-buahan yang kaya vitamin C. Hal ini diimbangi gaya hidup sehat dan olahraga secara teratur.

Menkes Siti Fadilah menyatakan, khusus untuk anak sekolah, penanggulangan anemia dapat dilakukan lewat program Usaha Kesehatan Sekolah melibatkan murid, guru, orangtua murid, dan pedagang makanan. Program ini berupa pemeriksaan kesehatan secara berkala, penyuluhan kepada warga sekolah, pengawasan terhadap makanan yang dijual di kantin sekolah, dan jika perlu ada pemberian suplemen atau makanan yang mengandung zat besi pada siswa.

"Penanggulangan anemia merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama dengan melibatkan pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat," ujarnya. Kampanye antianemia perlu digalakkan agar anemia defisiensi besi pada anak balita, anak usia sekolah, dan ibu hamil bisa diturunkan. Harapannya, generasi penerus yang sehat dan cerdas akan lahir.

Tidak ada komentar: